video-entry

featured-content

featured-content

featured-content

featured-content

featured-content

Tuesday, June 5, 2012

PENGANTAR HUKUM ARBITRASE DI INDONESIA


Oleh : Tommi Ricky Rosandy, SH




A. Pengertian
Istilah arbitrase berasal darikata arbitrare (Latin), arbitrage (Belanda/Perancis), arbitration (Inggris) dan shiedspruch (Jerman), yang berarti kekuasaan untuk menyelesaikan sesuatu menurut kebijaksanaan atau perdamaian melalui arbiter atau wasit. Dalam literatur, dijumpai beberapa batasan arbitrase yang dikemukakan oleh para ahli hukum, di antaranya adalah : 1
1. Frank Elkoury dan Edna Elkoury dalam bukunya “How Arbitration Works” disebutkan bahwa arbitrase adalah suatu proses yang mudah atau simple yang dipilih oleh para pihak secara sukarela yang ingin agar perkaranya diputus oleh para pihak secara sukarela yang ingin agar perkaranya diputus oleh juru pisah yang netral sesuai dengan pilihan mereka di mana keputusan mereka berdasar kan dalil-dalil dalam perkara tersebut. Para pihak setuju sejak semula untuk menerima putusan tersebut secara final dan mengikat.
2. Gary Goodpaster, mengemukakan sebagai berikut :
“Arbitration is the private adjudication of disputes parties, anticipating possible disputes or experiencing an actual dispute, agree to submit their dispute to a decision maker they in some fashion select”.
3. Subekti, menyebutkan bahwa arbitrase adalah penyelesaian atau pemutusan sengketa oleh seseorang hakim atau para hakim berdasarkan persetujuan bahwa para pihak akan tunduk pada atau menaati keputusan yang diberikan oleh hakim atau para hakim yang mereka pilih atau tunjuk tersebut.
4. Priyatna Abdurrasid mengemukakan bahwa arbitrase adalah suatu proses pemerikaan suatu sengketa yang dilakukan secara yudisial seperti dikehendaki oleh para pihak yang bersengketa, dan pemecahannya akan didasarkan kepada bukti-bukti yang diajukan oleh para pihak.
5. M.N. Purwosutjipto menyatakan bahwa Perwasitan adalah suatu peradilan perdamaian di mana para pihak bersepakat agar perselisihan mereka tentang hak pribadi yang dapat mereka kuasai sepenuhnya, diperiksa dan diadili oleh hakim yang tidak memihak, yang ditunjuk oleh para pihak sendiri dan putusannya mengikat bagi kedua belah pihak.
6. Dalam Black Law Dictionary dijelaskan sebagai berikut :
“Arbitration is the reference of a dispute to an impartial (third) person chosenby the parties to the dispute who agree in advance to abide by arbitrator’s award issue after hearing at which both parties have and opportunity to be head. An arrangement for taking and abiding by the judgement of selected persons in some dispute matter, istead of carrying it to establishtribunal of justice, an is intended to avoid the formalities, the delay, the expense and taxation of ordinary litigation”.
7. Dalam Pasal 1 angka 1 UU No.30 Tahun 1999 disebutkan bahwa arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa”.
8. Arbitrase menurut Komisi Hukum Internasional (International Law Commission) adalah a procedure for the settlement of disputes between states by binding award on the basis of law and as a result of an undertaking voluntarily accepted. 2
Dari pengertian Arbitrase berdasarkan Undang-Undang dapat diketahui bahwa perjanjian dalam Arbitrase harus tertulis, bukan hanya sekedar perjanjian secara lisan.
Berdasarkan pengertian-pengertian di atas, pada dasarnya dapat disimpulkan bahwa unsur-unsur arbitrase adalah sebagai berikut : 3
1. Cara penyelesaian sengketa secara privat atau di luar pengadilan;
2. Atas dasar perjanjian tertulis dari para pihak;
3. Untuk mengantisipasi sengketa yang mungkin terjadi atau yang sudah terjadi;
4. Dengan melibatkan pihak ketiga (arbiter atau wasit) yang berwenang mengambil keputusan; dan
5. Sifat putusannya adalah final dan mengikat.
Sesungguhnya jika kita buka lagi lembaran sejarah hukum di Indonesia, akan kita temui bahwa pranata arbitrase ini sesungguhnya telah dikenal sejak tahun 1894, yaitu sejak Pemerintah Hindia Belanda memberlakukan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata (Reglement op de Burgerlijke Rechtvordering atau disingkat dengan Rv). Ketentuan mengenai penyelesaian sengketa melalui pranata arbitrase ini diatur dalam pasal 615 sampai dengan 651 R.v. tersebut. Dalam pasal-pasal tersebut dapat kita temui apa, bagaimana, ruang lingkup dan kewenangan serta fungsi arbitrase dalam menyelesaikan sengketa yang diajukan ke hadapannya.
Dasar hukum berlakunya arbitrase pada zaman kolonial Belanda ini adalah pasal 377 HIR atau pasal 705 RBg (Rechtsreglement Buitengewesten) yang berbunyi :
“Jika orang Indonesia dan orang Timur asing menghendaki perselisihan mereka diputuskan oleh juru pisah, maka mereka wajib menuruti peraturan pengadilan perkara yang berlaku bagi bangsa Eropa”.
Jadi pasal ini jelas memberi kemungkinan bagi pihak-pihak yang bersengketa untuk menyelesaikannya di luar pengadilan. Namun demikian HIR maupun RGb tidak membuat aturan tentang arbitrase. Untuk mengisi kekosongan tersebut, pasal 377 HIR terdapat dalam Reglement Hukum Acara Perdata (Reglement op de Burgerlijke Rechtsvordering disingkat Rv,S.1847-52 jo 1849-63).
Menumpuknya perkara di Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, dan Mahkamah Agung tampaknya harus menghidupkan kembali pranata Arbitrase ini.4
B. Obyek Sengketa dalam Arbitrase
Arbitrase merupakan cara penyelesaian sengketa melalui “adjudikatif privat”, yang putusannya bersifat final dan mengikat. Arbitrase sekarang diatur diatur UU No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Dalam ketentuan Pasal 3 UU No. 30 Tahun 1999 disebutkan bahwa Pengadilan Negeri tidak berwenang untuk mengadili sengketa para pihak yang telah terikat dalam perjanjian arbitrase. Adapun objek pemeriksaan Arbitrase adalah memeriksa sengketa keperdataan, tetapi tidak semua sengketa keperdataan dapat diselesaikan melalui arbitrase, hanya bidang tertentu yang disebutkan dalam Pasal 5 ayat (1) UU No. 30 tahun 1999 yaitu :
“sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase hanya sengketa di bidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa”.
Penjelasannya tidak memberikan apa yang termasuk dalam bidang perdagangan. Jika dihubungkan dengan penjelasan Pasal 66, termasuk dalam ruang lingkup perdagangan adalah kegiatan-kegiatan antara lain bidang :
1. Perniagaan
2. Perbankan
3. Keuangan
4. Penanaman Modal
5. Industri dan;
6. Hak Kekayaan Intelektual (HAKI)
Selanjutnya Pasal 5 ayat (2) menyebutkan bahwa :
“Sengketa yang tidak dapat diselesaikan melalui arbitrase adalah sengketa yang menurut peraturan perundang-undangan tidak dapat diadakan perdamaian”.
Dengan menggunakan penafsiran argumentum a contrario, maka kompetensi arbitrase adalah sengketa di bidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dapat diadakan perdamaian.5
C. Kelebihan Arbitrase
Di bawah ini keutungan menggunakan Arbitrase yang dikemukakan oleh para ahli sekaligus dari tinjauan undang-undang :6
Gary Goodpaster, Felix O. Soebagjo, dan Fatmah Jatim, dalam “Tinjauan terhadap Arbitrase Dagang Secara Umum dan Arbitrase Dagang di Indonesia” dalam buku Arbitrase di Indonesia” , menyebutkan ada beberapa alasan memilih arbitrase, yaitu :
a. Kebebasan, kepercayaan, dan keamanan;
b. Keahlian (Expertise);
c. Cepat dan hemat biaya;
d. Bersifat rahasia;
e. Bersifat non-preseden;
f. Kepekaan arbiter;
g. Pelaksanaan keputusan;
h. Kecenderungan yang Moden.
Prof. Mr. Dr. Sudargo Gautama dalam bukunya Arbitrase Dagang Internasional juga menyebutkan beberapa alasan yang menyebutkan beberapa alasan yang menjadin arbitrase demikian populer dalam transaksi dagang internasional, antara lain :
• Dihindarkannya publisitas;
• Tidak banyak formalitas;
• Bantuan pengadilan hanya taraf eksekusi;
• Baik untuk pedagang-pedagang bonafide;
• Ada jaminan dari perkumpulan-perkumpulan pengusaha;
• Lebih murah dan lebih cepat.
Mengutip penjelasan umum Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, pada umumnya dikatakan bahwa pranata Arbitrase mempunyai kelebihan dibandingkan dengan pranata peradilan, yaitu antara lain :
a. Dijamin kerahasiaan sengketa para pihak;
b. Dapat dihindari kelambatan yang diakibatkan karena hal prosedural dan administratif;
c. Para pihak dapat memilih arbiter yang menurut keyakinannya mempunyai pengetahuan, pengalaman serta latar belakang yang cukup mengenai masalah yang disengketakan, jujur dan adil;
d. Para pihak dapat menentukan pilihan hukum untuk menyelesaikan masalahnya serta proses dan tempat penyelenggaraan arbitrase; dan
e. Putusan arbiter merupakan putusan yang mengikat para pihak dengan melalui tata cara (prosedur) sederhana saja ataupun langsung dapat dilaksanakan.
Dari keterangan di atas dapat dimengerti bila para pihak memilih arbitrase dalam penyelesaian sengketa, misalnya bagi perusahaan yang berusaha menjaga nama baiknya akan lebih menguntungkan apabila kerahasiaannya terjamin karena tak jarang nama baik dianggap sebagai salah satu sarana mencapai tujuan perusahaan dan demi berlangsungnya sebuah perusahaan tersebut, begitu juga dengan pihak yang tergolong orang pribadi. Dalam arbitrase juga bisa mempercepat dicapainya solusi atas sebuah sengketa karen prosedural dan administratif juga lebih mudah. Dalam hal pihak arbiter bisa memilih arbiter yang keahliannya sesuai dengan sengketa yang sedang terjadi, misalnya dalam hal cyber law maka arbiter yang dipilih bisa dari arbiter yang ahli dalam bidang cyber law sehingga diharapkan putusan akan lebih diterima oleh para pihak. Begitu juga dengan pilihan hukum yang dipakai bisa menggunakan hukum yang paling sesuai dengan persoalan yang sedang dihadapi dan lengkap pengaturannya sesuai kesepakatan para pihak. Arbitrase diharapkan mampu memenuhi rasa keadilan para pihak dan mewujudkan kemudahan-kemudahan dalam penyelesaian sengketa tentunya yang masuk kepada kompetensi sengketa yang diperbolehkan diselesaikan dengan Arbitrase dan penyelesaian sengketa alternatif.
D. Kekurangan Arbitrase dan ADR dalam Penyelesaian Sengketa
Meskipun ADR memiliki beberapa keunggulan, tetapi ADR sebenarnya merupakan mekanisme yang rentan terutama untuk untuk kondisi Indonesia, karena ADR juga mempunyai kelemahan-kelemahan, di antaranya :7
a. ADR belum dikenal secara luas, baik oleh masyarakat awam, maupun masyarakat bisnis, bahkan oleh masyarakat akademis sendiri. Sebagai contoh masyarakat masih banyak yang belum mengetahui keberadaan dan kiprah dari lembaga-lembaga seperti BANI, BAMUI dan P3BI.
b. Masyarakat belum menaruh kepercayaan yang memadai, masyarakat belum menaruh kepercayaan yang memadai, sehingga enggan memasukkan perkaranya kepada lembaga-lembaga ADR. Hal ini dapat dilihat dari sedikitnya perkara yang diajukan dan diselesaikan melalui lembaga-lembaga ADR yang ada.
c. Lembaga ADR tidak mempunyai kewenangan melakukan eksekusi putusannya. Meskipun keputusannya bersifat mengikat, tetapi untuk melaksanakannya harus melalui “fiat eksekusi” pengadilan. Jadi wibawa lembaga pengadilan kalah dengan wibawa pengadilan.
d. Kurangnya kepatuhan para pihak terhadap hasil-hasil penyelesaian yang dicapai dalam ADR, sehingga mereka seringkali mengingkari dengan berbagai cara, baik dengan cara mengulur waktu, perlawanan, gugatan pembatalan, dan sebagainya.
e. Kurangnya kesediaan para pihak yang bersengketa untuk melepaskan sebagian hak-haknya. Budaya litigasi yang sudah tertanam, membuat para pihak berpikir win-lose solution, dan bukan win-win solution sebagaimana yang dikehendaki oleh ADR.
f. Kurangnya para pihak memegang etika bisnis. Sebagai suatu mekanisme extra judicial, ADR hanya dapat bertumpu di atas etika bisnis, seperti kejujuran dan kewajaran.
E. Jenis-Jenis Arbitrase
Dengan mengacu konvensi-konvensi seperti : Convention of the settlement of Investment Disputes Between States and National of Other State atau Convention on the Recognition And Enforcement of Foreign Arbitral Awards (Konvensi New York 1958) maupun berdasarkan ketentuan yang terdapat dalam UNCITRAL Arbitration Rules maka kita dapat mengemukakan beberapa jenis arbitrase yaitu :8
1. Arbitrase ad hoc;
Arbitrase ad hoc (arbitrase volunter) adalah arbitrase yang dibentuk khusus untuk menyelesaikan atau memutus perselisihan tertentu. Arbitrase ini bersifat insidental dan jangka waktunya tertentu sampai sengketa itu diputuskan.
2. Arbitrase institusional;
Arbitrase institusional merupakan lembaga atau badan arbitrase yang sifatnya permanen. Karena sering disebut “permanent arbitral body” . Arbitrase ini disediakan oleh organisasi tertentu dan sengaja didirikan untuk menampung perselisihan yang timbul dari perjanjian. Faktor kesengajaan dan sifat permanen ini merupakan ciri pembeda dengan arbitrase ad hoc. Selain itu arbitrase institusional ini sudah ada sebelum sengketa timbul yang berbeda dengan arbitrase ad hoc. Selain itu arbitrase institusional ini berdiri untuk selamanya dan tidak bubar meskipun perselisihan yang ditangani telah selesai.
F. Keputusan Arbitrase
Putusan arbirase umumnya mengikat para pihak. Penaatan terhadapnya dipandang tinggi. Biasanya putusannya bersifat final dan mengikat.9 Itu karena arbitrase dilaksanakan antara para pihak sendiri atas kesadaran akan penyelesaian sengketa.
Putusan arbitrase merupakan suatu putusan yang diberikan oleh arbitrase ad-hoc maupun lembaga arbitrase atas suatu perbedaan pendapat, perselisihan paham maupun persengketaan mengenai suatu pokok persoalan yang lahir dari suatu perjanjian dasar (yang memuat klausula arbitrase) yang diajukan pada arbitrase ad-hoc, maupun lembaga arbitrase untuk diputuskan olehnya. Berdasarkan pada “tempat di mana arbitrase tersebut diputuskan, secara umum putusan arbitrase dapat kita bedakan ke dalam : 10
1. Putusan arbitrase nasional,
yang merupakan putusan arbitrase yang diambil atau dijatuhkan di negara Republik Indonesia;
2. Arbitrase Internasional atau arbitrase asing,
Yang merupakan putusan arbitrase yang dijatuhkan di negara di luar negara Republik Indonesia.
Untuk menentukan apakah putusan arbitrase itu merupakan putusan arbitrase nasional atau internasional, didasarkan pada prinsip kewilayahan (territory) dan hukum yang dipergunakan dalam penyelesaian sengketa arbitrase tersebut. Kalau mempergunakan hukum asing sebagai dasar penyelesaian sengketanya, walaupun putusan dijatuhkan di dalam wilayah hukum Republik Indonesia, putusan arbitrase tersebut tetap merupakan putusan arbitrase internasional. Sebaliknya walaupun para pihak yang bersengketa itu bukan berkewarganegaraan Indonesia, tetapi mempergunakan hukum Indonesia sebagai dasar penyelesaian sengketa arbitrasenya, maka putusan arbitrase yang demikian merupakan putusan arbitrase nasional bukan putusan arbitrase internasional. 11
G. Badan Arbitrase Nasional Indonesia ( BANI )
Badan Arbitrase Nasional Indonesia ( BANI ) adalah sebuah badan yang mempunyai hubungan erat dengan KAMAR DAGANG dan INDUSTRI (KADIN) INDONESIA. Tujuannya memberikan penyelesaian yang adil dan cepat dalam sengketa-sengketa perdata yang timbul mengenai soal-soal perdagangan, industri dan keuangan, baik yang bersifat nasional maupun yang bersifat Internasional. Dalam melakukan tugasnya tersebut BANI adalah bebas (otonom) dan tidak boleh dicampuri oleh sesuatu kekuasaan lain. 12
Indonesia mulai memiliki pusat arbitrase nasional sejak tahun 1977. Indonesia juga memiliki sebuah lembaga arbitrase yang dipusatkan pada transaksi rencana perbankan dan keuangan Islam. Lembaga ini dikenal sebagai BAMUI (Badan Arbitrase Muamalat Indonesia) yang didirikan pada tanggal 21 Oktober 1998 oleh Yayasan BAMUI, sebagai sebuah mekanisme alternatif yang menyangkut perselisihan komersial di Indonesia. 13
Penyelesaian sengketa dengan menggunakan arbitarase BANI jika sidang pertama pemohon tidak hadir, tanpa adanya alasan yang sah, maka permohonan arbitrase akan dinyatakan gugur. Hal ini sesuai dengan ketentuan HIR mengenai perkara perdata. Namun jika termohon yang tidak datang pada sidang pertama maka akan dipanggil sekali lagi untuk menghadap di muka sidang pada waktu kemudian yang ditetapkan selambat-lambatnya empat belas hari lagi sejak dikeluarkannya perintah tersebut. Jika termohon tidak datang juga, maka pemeriksaan akan diteruskan tanpa hadirnya si termohon dan tuntutan si pemohon akan dikabulkan, kecuali tuntutan itu oleh BANI dianggap tidak berdasarkan hukum atau keadilan. Jadi ketentuan ini sesuai dengan verstek dalam HIR.14 Ini berarti BANI termasuk ke dalam arbitrase institusional yang bersifat nasional karena arbitrase ini disediakan oleh organisasi tertentu dan sengaja didirikan untuk menampung perselisihan yang timbul dari perjanjian. Faktor kesengajaan dan sifat permanen ini merupakan ciri pembeda dengan arbitrase ad hoc. Selain itu arbitrase oleh BANI ini sudah ada sebelum sengketa timbul yang berbeda dengan arbitrase ad hoc. Selain itu arbitrase oleh BANI ini berdiri untuk selamanya dan tidak bubar meskipun perselisihan yang ditangani telah selesai dan ruang lingkup keberadaan dan yurisdiksinya hanya meliputi kawasan negara yang bersangkutan.
Sedangkan alat bukti yang sah menurut BANI dapat dilihat pada pasal 14 peraturan prosedur BANI yaitu :
• Alat bukti keterangan para pihak dalam bentuk pengakuan,
• Alat bukti keterangan saksi,
• Alat bukti keterangan ahli.
Pasal 14 BANI ini tidak menyebutkan alat bukti surat atau dokumen. Namun secara implisit pasal 14 ayat 1 menyatakan bahwa “serta mengajukan bukti-bukti yang oleh mereka dianggap perlu”, ini berarti sesuai dengan praktek dan perundang-undangan di Indonesia adalah bukti surat, persangka (vermoeden) dan alat bukti sumpah. 15
Diharapkan dalam alternatif penyelesaian sengketa dapat mendorong mewujudkan semakin tingginya keadilan yang tercapai dalam bidang hukum khususnya hukum yang berkompetensi ditangani dengan pengadilan ataupun penyelesaian sengketa alternatif.




________________________________________________________________





1. Bambang Sutiyoso, Hukum Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, 2008, Gama Media,Yogyakarta,hal. 109-111.
2. Huala Adolf, Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional, 2006, Sinar Grafika Jakarta. Hal. 39 Lihat juga (1953) Y.B.I.L., Vol. 2, hlm. 14.
3. Bambang Sutiyoso, Op.Cit, hal. 111.
4. Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Hukum Arbitrase, 2003, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 11-14.
5. Bambang Sutiyoso, Op.Cit, hal.114-116.
6. Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Op.Cit, hal. 4-6.
7. Bambang Sutiyoso, Op.Cit, hal. 41-42.
8. Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Op.Cit, hal. 55-56.
9. Huala Adolf, Op.Cit. , Hal. 52.
10. Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Op.Cit, hal. 98-99.
11. Bambang Sutiyoso, Op.Cit, hal. 159-160
12. Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Op.Cit, hal. 104.
13. Maqdir Ismail, Pengantar Praktek Arbitrase di Indonesia, Malaysia, Singapura, dan Australia, 2007, Universitas Al-Azhar Indonesia, Jakarta, hal. 40-41.
14. Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Op.Cit, hal. 108.
15. Ibid, hal. 148


DAFTAR PUSTAKA
Bambang Sutiyoso, Hukum Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, 2008, Gama Media,Yogyakarta
Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Hukum Arbitrase , 2003, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Huala Adolf, Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional , 2006, Sinar Grafika, Jakarta.
Maqdir Ismail, Pengantar Praktek Arbitrase di Indonesia, Malaysia, Singapura, dan Australia, 2007, Universitas Al-Azhar Indonesia, Jakarta.

0 comments:

Post a Comment