video-entry

featured-content

featured-content

featured-content

featured-content

featured-content

Tuesday, June 5, 2012

HUBUNGAN HUKUM DENGAN KEKUASAAN


Oleh : Tommi Ricky Rosandy, S.H.,M.H



     Mungkin ada pertanyaan mengapa hukum (penegakan hukum maupun perlindungan hukum) dipengaruhi oleh kekuasaan. Mengapa hukum bisa menjadi alat untuk melanggengkan kekuasaan bagi pemegang kekuasaan yang jahat ? Sedangkan di sisi lain berpikir bahwa hukum harus dijunjung setinggi-tingginya meskipun langit runtuh. Lalu apa hubungan hukum dengan kekuasaan ?
Hubungan hukum dengan kekuasaan dapat dirumuskansecara singkat dalam slogan sebagai berikut :
“Hukum tanpa kekuasaan adalah angan-angan, kekuasaan tanpa hukum adalah kelaliman”.
Dalam penerapannya, hukum memerlukan suatu kekuasaan untuk mendukungnya. Ciri utama inilah yang membedakan antara hukum di suatu pihak dengan norma-norma sosial lainnya dan norma agama. Kekuasaan itu diperlukan oleh karena hukum bersifat memaksa . Tanpa adanya kekuasaan, pelaksanaan hukum di masyarakat akan mengalami hambatan-hambatan. Semakin tertib dan teratur suatu masyarakat, makin berkurang diperlukan dukungan kekuasaan.
Hukum itu sendiri sebenarnya juga adalah kekuasaan. Hukum merupakan salah satu sumber kekuasaan. Selain itu hukum pun merupakan pembatas bagi kekuasaan, oleh karena kekuasaan itu mempunyai sifat yang buruk, yaitu selalu merangsang pemegangnya untuk ingin memiliki kekuasaan yang melebihi apa yang dimilikinya. Contoh yang popular misalnya sepakterjang para raja absolute dan dictator. Atau bukan hanya raja bahkan presiden pun jika tidak dibatasi dengan baik bisa berbuat semena-mena dengan kekuasaannya.
“Baik buruknya kekuasaan, bergantung dari bagaimana kekuasaan tersebut dipergunakan. Artinya, baik buruknya kekuasaan senantiasa harus diukur dengan kegunaannya untuk mencapai suatu tujuan yang sudah ditentukan atau atau sudah disadari oleh masyarakat lebih dahulu. Hal ini merupakan suatu unsure yang mutlak bagi kehidupan masyarakat yang tertib dan bahkan bagi setiap bentuk organisasi yang teratur”.
Kesadaran hukum yang tinggi dan masyarakat juga merupakan pembatas yang ampuh bagi pemegang kekuasaan.1Sebagaimana tak jarang pemimpin-pemimpin yang dianggap rakyat semena-mena menggunakan kekuasaannya harus tunduk pada protes rakyat atau dengan kata lain lengser.
Pada hubungan hukum dan kekuasaan ada dua macam. Pertama, hukum adalah kekuasaan itu sendiri. Menurut Lessalle dalam pidatonya yang termashur Uber Verassungswessen, “konstitusi sesuatu negara bukanlah undang-undang dasar tertulis yang hanya merupakan “secarik kertas”, melainkan hubungan-hubungan kekuasaan yang nyata dalam suatu negara” Pendapat Lessale ini memandang konstitusi dari sudut kekuasaan.
Dari sudut kekuasaan, aturan-aturan hukum yang tertuang dalam konstitusi suatu negara merupakan deskripsi struktur kekuasaan yang terdapat dalam negara dan hubungan-hubungan kekuasaan di antara lembaga-lembaga negara. Dengan demikian aturan-aturan hukum yang termuat dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 merupakan deskripsi struktur kekuasaan ketatanegaraan Indonesia dan hubungan-hubungan antara lembaga-lembaga negara.
Hakekat hukum dalam konteks kekuasaan menurut Karl Olivercona antara lain daripada”kekuatan yang terorganisasi”, di mana hukum adalah “seperangkat aturan mengenai penggunaan kekuatan”.
Walaupun kekuasaan itu adalah hukum, namun kekuasaan tidak identik dengan hukum. Mengenai hal ini Van Apeldorn mengemukakan bahwa hukum adalah kekuasaan, akan tetapi kekuasaan tidak selamanya hukum. “Might is not right” , pencuri berkuasa atas barang yang dicurinya, akan tetapi tidak berarti bahwa ia berhak atas barang itu.2Karena barang yang didapat si pencuri tersebut didapatkan dengan cara melawan hukum.
Kekuasaan dalam konteks hukum berkaitan dengan kekuasaan negara yaitu kekuasaan untuk mengatur dan menyelenggarakan kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang meliputi bidang legislatif, eksekutif dan yudikatif. Dengan demikian, kekuasaan merupakan sarana untuk menjalankan fungsi-fungsi pokok kenegaraan guna mencapai tujuan negara.
Kekuasaan dalam konteks hukum meliputi kedaulatan, wewenang atau otoritas, dan hak. Ketiga bentuk kekuasaan itu memiliki esensi dan ciri-ciri yang berbeda satu sama lain dan bersifat hirarkis.
Kekuasaan tertinggi adalah kedaulatan, yaitu kekuasaan negara secara definitif untuk memastikan aturan-aturan kelakuan dalam wilayahnya, dan tidak ada pihak, baik di dalam maupun di luar negeri, yang harus dimintai ijin untuk menetapkan atau melakukan sesuatu. Kedaulatan adalah hak kekuasaan mutlak, tertinggi, tak terbatas, tak tergantung, dan tak terkecuali.
Kedaulatan atau souvereignity adalah ciri atau atribut hukum dari negara-negara; dan sebagai atribut negara dia sudah lama ada, bahkan ada yang berpendapat bahwa kedaulatan itu mungkin lebih tua dari konsep negara itu sendiri. Dalam teori kenegaraan, ada empat bentuk kedaulatan sebagai pencerminan kekuasaan tertinggi dalam suatu negara. Keempat bentuk kedaulatan itu adalah kedaulatan Tuhan (Godsouvereiniteit), kedaulatan negara (staatssouvereiniteit) , kedaulatan hukum (rechtssouvereinteit) , dan kedaulatan rakyat (volksouvereinteit) .
Bentuk kedua kekuasaan dalam konteks hukum adalah wewenang. Wewenang berasal dari bahasa Jawa yang mempunyai dua arti, yaitu pertama, kuasa (bevoegdheid) atas sesuatu. Kedua, serangkaian hak yang melekat pada jabatan atau seorang pejabat untuk mengambil tindakan yang diperlukan agar tugas pekerjaan dapat terlaksana dengan baik, kompetensi, yurisdiksi, otoritas.
Adalah ciri khas negara bahwa kekuasaannya memiliki wewenang. Maka kekuasaan negara dapat disebut otoritas atau wewenang. Otoritas atau wewenang adalah “kekuasaan yang dilembagakan”, yaitu kekuasaan yang defakto menguasai, melainkan juga berhak menguasai. Wewenang adalah kekuasaan yang berhak menuntut ketaatan, jadi berhak memberikan perintah.
Bentuk ketiga kekuasaan dalam hukum adalah hak. Salmond merumuskan hak sebagai kepentingan yang diakui dan dilindungi oleh hukum. Rumusan yang hampir sama dikemukakan oleh Allend yang menyatakan bahwa hak itu sebagai suatu kekuasaan berdasarkan hukum yang dengannya seseorang dapat melaksanakan kepentingannya (The legally guaranteed power to realise an interest) . Sedangkan menurut Holland hak itu sebagai kemampuan seeorang untuk mempengaruhi perbuatan atau tindakan seseorang tanpa menggunakan wewenang yang dimilikinya, tetapi didasarkan atas suatu paksaan masyarakat yang terorganisasi.
Definisi hak menurut Holmes adalah “nothing but permission to exercise certain natural powers and upon certain conditions to obtain protection, restitution, or compensation by the aid of public force” . Hak dapat pula diartikan sebagai kekuasaan yang dipunyai seseorang untuk menuntut pemenuhan kepentingannya yang dilindungi oleh hukum dari orang lain, baik dengan sukarela maupun dengan paksaan.
Pengakuan hukum terhadap hak seseorang mengandung konsekuensi adanya kewajiban pada pihak atau orang lain. Hal itu bisa terjadi karena hubungan hak dan kewajiban bersifat resiprokal atau timbal balik. Hubungan hak dan kewajiban terjadi dalam konsep hubungan hukum (konsep subjektif).3
Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa pengaruh hukum dan kekuasaan adalah pengaruh timbal balik yang saling mengontro dan melengkapi. Karena kekuasaan yang tanpa hukum akan terjadi potensi kuat terhadap kesewenang-wenangan sedangkan hukum tanpa kekuasaan menjadi tidak memiliki kekuatan memaksa dalam menyelenggarakan dan mewujudkan keamanan, ketertiban dan keteraturan dalam kehidupan bermayarakat, berbangsa dan bernegara.

_______________________________________________________________________


1Lili Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafatdan Teori Hukum, 2007, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, Hal. 75-77
2Salman Luthan, Jurnal Hukum : Hubungan Hukum dan Kekuasaan, 14 April 2007, Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, Hal. 174-175.
3Salman Luthan, Ibid, Hal.177-180

0 comments:

Post a Comment