BAB I
PENDAHULUAN
A. Pendahuluan
Dalam kegiatan masyarakat mungkin jarang kita temukan istilah factoring akan tetapi pembiayaan ini sudah lama dilaksanakan cukkup lama. Sebagai sebuah pembiayaan factoring
memang dibutuhkan terutama oleh pelaku usaha agar dapat memperlancar
kegiatan usahanya dengan menjual piutangnya kepada pihak lain maka akan
mempermudah aliran dana untuk produksi. Sehingga kemajuan perusahaan
akan lebih lancar termasuk bagian produksi.Dalam prakteknya factoring
seringkali merupakan pembiayaan yang efektif akan tetapi juga
mengandung resiko tinggi bilamana piutang tersebut tidak terbayar maka
pihak yang membeli piutang tersebut akan mendapatkan tanggungan resiko
bila tidak diperjanjikan lain hanya selesai pada jual-beli saja. Makalah
ini menerangkan jenis-jenis factoring dan juga perspektif hukum sehingga dapat menjadi gambaran mengenai kegiatan factoring.
Bagaimanakah hukum mengatur mengenai factoring dan bagaimanakah factoring dalam perspektif hukum ?
BAB II
PEMBIAYAAN FACTORING DALAM PERSPEKTIF HUKUM BISNIS
PEMBIAYAAN FACTORING DALAM PERSPEKTIF HUKUM BISNIS
Salah satu bentuk perjanjian dan kontrak perjanjian yang belum
diatur dalam BW (KUHPerdata) namun kenyataannya ada dan berkembang dalam
masyarakat adalah pembiayaan konsumen. Pembiayaan konsumen merupakan
salah satu model pembiayaan yang dilakukan oleh perusahaan financial, di
samping kegiatan seperti leasing, factoring, kartu kredit dan
sebagainya.
Dengan kemajuan kegiatan bisnis, terutama sejak orde reformasi,
telah tumbuh lembaga bisnis yang berkaitan dengan lembaga cessie, yakni
lembaga anjak piutang (factoring). Lembaga anjak piutang adalah salah
satu upaya pem-biayaan jangka pendek untuk transaksi perdagangan dalam
negeri dan luar negeri.
Menurut Richard Burton Simatupang dalam bukunya, pengertian
lembaga pembiayaan factoring/anjak piutang adalah lembaga pembiayaan
yang dalam melakukan usaha pembiayaannya dilakukan dalam bentuk
pembelian dan atau pengalihan serta pengurusan piutang atau tagihan
jangka pendek suatu perusahaan dari transaksi perdagangan dalam atau
luar negeri.1
Pengertian lain juga senada dengan pendapat di atas bahwa Anjak Piutang (factoring)
adalah pembiayaan jangka pendek tanpa kolateral. Pembiayaan yang
dilakukan dalam bentuk pembelian dan/atau pengalihan/pengambilalihan,
serta pengurusan piutang atau tagihan jangka pendek dari suatu
perusahaan, tagihan mana berasal dari transaksi perdagangan dalam maupun
luar negeri.
Yang menjadi dasar hukum bagi factoring adalah kontrak factoring itu sendiri. Selanjutnya, terdapat berbagai perundang-undangan tentang factoring dan pengaturan tentang pengalihan (cessie) dalam KUH Perdata, dan perundang-undangan di bidang keuangan dan pembiayaan.
Perjanjian Anjak Piutang itu mengandung resiko yag besar dan untuk
mengurangi resiko tersebut, biasanya factor meminta adanya pengaturan
mengenai aliran arus keuangan terhadap pencairan dan pembayaran piutang
dagang. Pengertian resiko menurut Subekti (1992) adalah kewajiban
memikul kerugian yang disebabkan karena suatu peristiwa di luar
kesalahan salah satu
pihak, dan siapa yang wajib memikul kerugian-kerugian itu? Inilah yang
dinamakan resiko. Persoalan resiko itu berpangkal pada kejadian yang
dinamakan keadaan memaksa. Persoalan resiko adalah buntut dari suatu
keadaan memaksa. 2
B. Jenis-Jenis FactoringAdapun jenis-jenis factoring adalah sebagai berikut:3
( 1 ) Recourse Factoring (factoring di mana setelah transaksi factoring terjadi, pihak klien masih bertanggung jawab).
( 2 ) Non-Recourse Factoring (factoring di mana setelah transaksi factoring terjadi, pihak klien tidak bertanggung jawab lagi. ( hal. 152 )
( 3 ) Domestic Factoring (factoring semua pihak berada dalam 1 (satu) Negara).
( 4 ) International Factoring (Factoring di mana pihak costumer-nya berada di luar negeri).
( 5 ) Factoring dengan Account Receivables (factoring di mana yang dialihkan adalah bukti tagihan berupa invoice dagang )
Perbedaan antara anjak piutang dengan pinjaman bank. Antara lain adalah : 4
1. Penekanan anjak piutang adalah pada nilai piutang, bukan kelayakan kredit perusahaan.
2. Anjak piutang bukan merupakan suatu pinjaman, melainkan anjak piutang berarti membeli suatu asset yang berupa piutang.
3. Pinjaman bank melibatkan dua pihak, yaitu bank dan penerima kredit, sedangkan anjak piutang melibatkan tiga pihak yaitu pihak yang menjual piutang, lembaga anjak piutang dan pihak yang harus membayar piutang.
Penjualan portofolio kredit macet atau penjualan piutang macet
berbeda dengan “penjualan agunan kredit macet”. Penjualan portofolio
kredit macet hamper mirip dengan praktik pengalihan tagihan piutang
suatu perusahaan kepada perusahaan lain yang lazim diatur dalam hukum
tentang anjak pitang atau factoring. Menurut Munir Fuady ada beberapa ketentuan dalam hokum Indonesia yang dapat menjadi dasar hukum bagi eksistensi suatu jasa factoring, yaitu ketentuan-ketentuan yang merupakan dasar hukum bagi eksistensi suatu jasa factoring,
yaitu ketentuan-ketentuan yang merupakan dasar hokum substansif murni,
substansif procedural, dan dasar huikum administratif. Dasar hukum
substansif murni dari kegiatan factoring adalah Pasal 1338 KUH
Perdata perihal “asas kebebasan berkontrak” serta pasal 1320 KUH Perdata
tentang “syarat sahnya suatu perjanjian”. Dasar hokum substansif
procedural dari kegiatan factoring adalah Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yakni: (1) ketentuan dalam buku kedua tentang “Cessie” (pengalihan piutang) vide
Pasal 613 KUH Perdata; (2) Ketentuan Pasal 1400 KUH Perdata dan
seterusnya yang mengatur tentang “subrogasi” (pergantian hak si
berpiutang oleh pihak ketiga, yang membayar kepada si berpiutang),
serta (3) ketentuan lain yang berhubungan dengan penjualan piutang,
yaitu KUH Perdata Pasal 1459, Pasal 1491, Pasal 1493, Pasal 1495, Pasal
1553, Pasal 1534 dan sebagainya, serta ketentuan yang terdapat dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) Pasal 174 sampai dengan Pasal
177.
Kegiatan factoring juga memiliki dasar hokum yang bersifat administrative yaitu: (1) UU Perbankan (UU 7/1992 juncto
UU 10/1998) Pasal 6 huruf l khususnya yang menyebutkan bahwa salah satu
usaha bank adalah “melakukan kegiatan anjak piutang”, (2) Keputusan
Presiden Nomor 61 Tahun 1988 tentang Lembaga Pembiayaan, dan (3)
Keputusan Menteri Keuangan (KMK) Nomor 1251/KMK.031?1988 tentang
ketentuan dan Tata Cara Pelaksanaan Lembaga Pembiayaan, sebagaimana yang
telah berkali-kali diubah, terakhir dengan KMK 448/KMK.017/2000 tentang
Perusahaan Pembiayaan. Saat ini KMK 448/KMK.017/2000 telah diubah oleh
Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 84/PMK.012/2006 tentang
Perusahaan Pembiayaan (PMK 84/2006). 5
Dari penelitian terhadap 39 Putusan Mahkamah Agung yang telah
dilakukan oleh peneliti, dapat disimpulkan bahwa hakim-hakim lebih
merupakan mazhab konvensional yang hanya menerapkan arti cessie
menurut BW (KUH Per-data). Namun dengan telah berkembangnya Hukum
Bisnis yang timbul dari perjanjian, saat ini telah timbul mazhab
transisi yang telah mampu mengaitkan lembaga cessie sebagaimana
dinyatakan dalam KUH Perdata dengan berbagai kegiatan pembiayaan dalam
bentuk factoring/anjak piutang.
Pertanyaan penting adalah apakah suatu sahnya
penyerahan/pengalihan utang tergantung pada sahnya pengalihan barang
jaminan? Dalam Putusan MA No. 148 K/Pdt/2003 tanggal 19 Mei 2007, MA RI
menyatakan bahwa perjanjian pengalihan barang jaminan telah memenuhi
ketentuan tentang sahnya perjanjian dan tidak bertentangan dengan
ketentuan perjanjian jual-beli kredit sehingga perjanjian pengalihan
dalam kasus ini adalah sah. Dengan kata lain, jika perjanjian pengalihan
barang jaminan tersebut tidak memenuhi syarat sahnya perjanjian, maka
penyerahan piutangnya melalui lembaga cesssie juga tidak sah.
Seperti yang telah disebutkan bahwa pada dasarnya terdapat tiga pihak
yang terlibat dalam transaksi factoring, yakni :
1. Klien sebagai penjual piutang
2. Customer sebagai yang berhutang
3. Perusahaan Factoring (factor) sebagai pembeli piutang
Dengan demikian pada cessie akan didahului perjanjian obligator terlebih dahulu, yang pada umumnya adalah jual-beli. Dalam praktik biasanya akta yang dibuat adalah Perjanjian Jual-Beli Piutang. Perjanjian ini baru menimbulkan kewajiban bagi masing-masing pihak. Perjanjian Obligatoir ini harus ditindaklanjuti dengan penyerahan (transfer of ownership) sehingga piutang yang semula milik kreditur lama sekarang menjadi milik kreditur baru.
Terkait dengan hubungan sebab akibat (Teori Kausalitas), keabsahan peristiwa hukum yang kemudian tergantung pada sah tidaknya peristiwa hukum yang mendahuluinya. Dengan demikian keabsahan cessie sangat bergantung pada sah tidaknya perjanjian obligatoir yang mendahuluinya, yakni perjanjian jual-beli piutang. Apabila perjanjian jual-beli piutangnya sah maka perjanjian cessie yang dibuat juga sah, sebaliknya bila perjanjian jual-beli piutang yang dibuat tidak sah maka perjanjian cessie-nya juga tidak sah. Akan tetapi, ada juga ajaran yang memisahkan kedua peristiwa hukum tersebut. Ajaran ini dikenal sebagai Teori Abstraksi. Menurut teori ini maka sah tidaknya cessie tidak bergantung pada sah tidaknya perjanjian jual-beli piutang yang mendahuluinya. Dengan kata lain, meskipun perjanjian jual-beli piutang yang mendahuluinya tidak sah, perjanjian cessie-nya tetap dianggap sah; yang dengan demikian tetap dianggap telah terjadi alih kepemilikan hak tagih atas piutang dari kreditur lama kepada kreditur baru.
Menurut pasal 613 KUH Perdata, penyerahan piutang atas nama dan
barang-barang lain yang tidak bertubuh, dilakukan dengan jalan membuat
“akta” (otentik atau dibawah tangan), yang disebut dengan “akta
cessei”yang melimpahkan hak-hak atas barang-barang itu kepada oarang
lain. Penyerahan itu tidak akan ada akibatnya bagi yang berhutang
sebelum penyerahan itu (1) diberitahukan kepadanya, atau (2)disetujui
secara tertulis, atau (3) diakuinya. Sementara itu, penyerahan
surat-surat hutang atas tunjuk dilakukan dengan memberikannya dan
penyerahan surat hutang atas perintah dilakukan dengan memberikannya
bersama endorsemen surat itu.
BAB III
KESIMPULAN
KESIMPULAN
2. Anjak Piutang (factoring) adalah pembiayaan jangka pendek
tanpa kolateral. Pembiayaan yang dilakukan dalam bentuk pembelian
dan/atau pengalihan/pengambilalihan, serta pengurusan piutang atau
tagihan jangka pendek dari suatu perusahaan, tagihan mana berasal dari
transaksi perdagangan dalam maupun luar negeri.
3. Kegiatan factoring juga memiliki dasar hukum yang bersifat administrative yaitu: (1) UU Perbankan (UU 7/1992 juncto
UU 10/1998) Pasal 6 huruf l khususnya yang menyebutkan bahwa salah satu
usaha bank adalah “melakukan kegiatan anjak piutang”, (2) Keputusan
Presiden Nomor 61 Tahun 1988 tentang Lembaga Pembiayaan, dan (3)
Keputusan Menteri Keuangan (KMK) Nomor 1251/KMK.031?1988 tentang
ketentuan dan Tata Cara Pelaksanaan Lembaga Pembiayaan, sebagaimana yang
telah berkali-kali diubah, terakhir dengan KMK 448/KMK.017/2000 tentang
Perusahaan Pembiayaan. Saat ini KMK 448/KMK.017/2000 telah diubah oleh
Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 84/PMK.012/2006 tentang
Perusahaan Pembiayaan (PMK 84/2006). Dasar hokum substansif procedural
dari kegiatan factoring adalah Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yakni: (1) ketentuan dalam buku kedua tentang “Cessie” (pengalihan piutang) vide
Pasal 613 KUH Perdata; (2) Ketentuan Pasal 1400 KUH Perdata dan
seterusnya yang mengatur tentang “subrogasi” (pergantian hak si
berpiutang oleh pihak ketiga, yang membayar kepada si berpiutang),
serta (3) ketentuan lain yang berhubungan dengan penjualan piutang,
yaitu KUH Perdata Pasal 1459, Pasal 1491, Pasal 1493, Pasal 1495, Pasal
1553, Pasal 1534 dan sebagainya, serta ketentuan yang terdapat dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) Pasal 174 sampai dengan Pasal
177.
______________________________________
1 Richard Burton Simatupang, Aspek Hukum dalam Bisnis , 2007, Cet. Kedua, Jakarta: PT Rineka Cipta, hlm. 119
2 Subekti, Hukum Perjanjian , PT.Intermasa, Jakarta,1992, hal.59
3 Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia dan AusAID, Panduan Bantuan Hukum di Indonesia , 2006, YLBHI dan PSHK, Jakarta, hal. 153
4 Budhi Wibowo dan Adi Kusrianto, Menembus Pasar Ekspor,2010, PT Elex Media Komputindo, Jakarta, hal.64-65
5 Iswi Hariyani, Restrukturisasi dan Penghapusan Kredit Macet , 2010, PT Elex Media Komputindo, Jakarta, hal. 258-259
DAFTAR PUSTAKA
Iswi Hariyani, Restrukturisasi dan Penghapusan Kredit Macet , 2010, PT Elex Media Komputindo, Jakarta, hal. 258-259.
Richard Burton Simatupang, Aspek Hukum dalam Bisnis , 2007, Cet. Kedua, Jakarta: PT Rineka Cipta, hlm. 119
Subekti, Hukum Perjanjian , PT.Intermasa, Jakarta,1992, hal.59
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia dan AusAID, Pnduan Bantuan Hukum di Indonesia , 2006, YLBHI dan PSHK, Jakarta
Richard Burton Simatupang, Aspek Hukum dalam Bisnis , 2007, Cet. Kedua, Jakarta: PT Rineka Cipta, hlm. 119
Subekti, Hukum Perjanjian , PT.Intermasa, Jakarta,1992, hal.59
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia dan AusAID, Pnduan Bantuan Hukum di Indonesia , 2006, YLBHI dan PSHK, Jakarta
pentingnya peran factoring yah
ReplyDelete