video-entry

featured-content

featured-content

featured-content

featured-content

featured-content

Tuesday, June 5, 2012

MUSYARAKAH DALAM PERSPEKTIF HUKUM PERBANKAN SYARIAH

Oleh : Tommi Ricky Rosandy, S.H., M.H.



BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

      Saat ini banyak berdiri perbankan syariah di Indonesia yang menarik perhatian masyarakatkita terhadap apa dan bagaimana perbankan syariah. Apa perbedaan produknya dengan perbankan konvensional.
Dunia pelaku usaha pun juga bertanya-tanya tentang apa produk yang bisa memacunya dalam meningkatkan usahanya. Sehingga dalam perkembangannya bisa membawa dampak baik dalam memacu peningkatan ekonomi di Indonesia terutama bagi kegiatan dunia usaha karena dunia usaha adalah tonggak bagi kemandirian kegiatan perekonomian di Indonesia baik dalam skala kecil menengah maupun besar.
Sedangkan di Indonesia ini banyak pengusaha membutuhkan tak hanya sekedar pinjaman atau hutang pinjaman terhadap mereka yang mana untung atau rugi jumlah pengembalian tetap, itupun masih ditambah bunga. Dengan kata lain kerja sama ini memungkinkan terjadi bukan pada bagi hasil tetapi hasil bisa saja didapat hanya satu pihak yaitu pihak yang meminjami atau kreditor atau dalam hal ini bisa juga pihak bank. Di sisi lain perbankan syariah hadir dan menawarkan salah satu produk yang disebut muyarakah di mana keuntungan dan kerugian ditanggung bersama-sama sesuai kepemilikan modal. Jadi, keuntungan yang didapat bisa lebih besar sesuai prosentase keuntungan yang didapat sekaligus kerugian ditanggung besama-sama dengan prinsip kerja sama. Sehingga diharapkan bisa mendorong laju perekonomian karena bukan untuk saling mengejar untung sendiri-sendiri akan tetapi betul-betul membangun kerja sama bersama-sama. Sehingga inilah produk yang bisa diharapkan membangun pertumbuhan ekonomi. Bukan hanya bagi pengusaha muslim akan tetapi juga bagi pengusaha non-muslim asalkan pelaksanaan usaha bukan pada sektor atau bidang yang dilarang sesuai hukum Islam. Ini dihindari karena hasil yang didapat pada sektor non-halal bisa berdampak pada haramnya hasil yang didapat perbankan syariah dari penanaman modal tersebut.
Lalu apakah kerugian yang terjadi juga merupakan resiko bagi nasabah, seberapa amankah pelaksanaan pembiayaan untuk perjanjian tersebut atau tentang landasan hukum Islamnya dan seberapa bermanfaatkah penanaman modal tersebut bagi nasabah, perbankan syariah atau pelaku usaha yang melaksanakan kerja sama tersebut ?
B. Latar Belakang
1. Bagaimanakah sebenarnya Musyarakah yang digunakan untuk memajukan peningkatan perekonomian dengan cepat dan mantap untuk menghasilkan kesejahteraan ekonomi ?

BAB II
KERJA SAMA MUSYARAKAH

A. Pendahuluan
Musyarakah di perbankan Islam (syariah) telah dipahami sebagai suatu mekanisme yang dapat menyatukan kerja dan modal untuk produksi barang dan jasa yang bermanfaat untuk masyarakat. Musyarakah dapat digunakan dalam setiap kegiatan yang menghasilkan laba (Abdullah Saeed, 1996:93). Bagi Bank-Bank Islam (syariah), musyarakah dapat digunakan untuk tujuan murni yang lazimnya bersifat jangka pendek, atau untuk keikutsertaan dalam investasi proyek-proyek jangka menengah hingga jangka panjang. 1
Musyarakah atau syirkah dapat didefinisikan sebagai suatu bentuk kerja sama dimana dua atau lebih orang menghimpun modal dan tenaga bersama-sama, untuk membagi keuntungan, menikmati hak dan kewajiban yang sama .
Secara bahasa syarikah berarti iktilath (pencampuran, yakni bercampurnya satu harta dengan harta yang lain sehingga tidak bisa dibedakan antara keduanya (Wahbah Zulhaili, 1989:51). Selanjutnya jumhur ulama mempergunakan kata syarikah untuk label suatu transaksi tertentu, meski tidak ada pencampuran dua kajian, karena terjadinya sebuah transaksi merupakan sebab terjadinya pencampuran. 2
Keuntungan dari hasil usaha bersama ini dapat dibagikan baik menurut proporsi penyertaan masing-masing maupun sesuai dengan kesepakatan bersama (unproportional). Manakala merugi kewajiban hanya terbatas sampai batas modal masing-masing. 3
Pembiayaan bagi hasil dalam bentuk musyarakah diatur dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Dalam ketentuan Pasal 1 ayat (13) secara eksplisit disebutkan bahwa musyarakah merupakan salah satu dari produk pembiayaan pada perbankan syariah.
Secara teknis mengenai pembiayaan musyarakah ini diatur dalam pasal 36 huruf b poin kedua PBI No. 6/24/PBI/2004 tentang Bank Umum yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip syariah, yang intinya menyatakan bahwa bank wajib melaksanakan prinsip syariah dan prinsip kehati-hatian dalam melakukan kegiatan usahanya yang meliputi penyaluran dana melalui prinsip bagi hasil berdasarkan akad musyarakah.
Musyarakah juga telah diatur dalam ketentuan Fatwa Dewan Syariah Nasional No. 08/DSN-MUI/IV/2000 tertanggal 13 April 2000. Intinya Fatwa DSN tersebut menyebutkan bahwa kebutuhan masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraan dan usaha terkadang memerlukan dana dari pihak lain, antara lain melalui pembiayaan musyarakah yaitu pembiayaan berdasarkan akad kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu di mana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana dengan ketentuan bahwa keuntungan dan resiko akan ditanggung bersama sesuai kesepakatan. 4

B. Landasan Syariah

Islam tidak membatasi aktivitas manusia dalam rangka bermuamalah dengan manusia lainnya. Salah satu aktivitas bermuamalah dengan manusia lainnya. Salah satu aktivitas bermuamalah tersebut adalah melakukan investasi. Investasi sangat dianjurkan dalam rangka mengembangkan karunia Allah. Dinamakan karunia Allah karena kekayaan sangat penting dalam kehidupan manusia. Mendiamkan harta, termasuk modal, sedemikian rupa sehingga tidak produktif adalah yang secara Islami tidak dibenarkan. Islam tidak memperbolehkan kakayaan ditumpuk dan ditimbun (QS. Al-Humazah [104]:1-3). Karena hal-hal demikian adalah menyia-nyiakan ciptaan Allah SWT dari fungsi sebenarnya harta dan secara ekonomi membahayakan. Bahaya dari penimbunan harta tersebut berupa terhambatnya pertumbuhan modal. Terhambatnya pertumbuhan modal akan menurunkan jumlah modal kerja yang tersedia untuk investasi. Hal ini tentunya akan menghambat laju pembangunan di suatu negara. Adanya pelarangan penumpukan dan penimbunan kekayaan ini, menyebabkan kekayaan tersebut harus diputar (QS. Al-Hashr [59]: 7). 5
Q.S. An Nisa:12 yang artinya :
“Maka mereka bersyarikat pada sepertiga”. (Q.S. An Nisa:12)
Dan dalam Q.S. Shad: 24 yang artinya :
“Dan sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang bersyarikat itu sebagian mereka berbuat zhalim kepada sebagian yang lain kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shalih” (Q.S. Shad: 24)
Kedua ayat di atas menunjukkan dalam kepemilikan harta. Hanya saja dalam Q.S: An Nisa; 12 pengkongsian terjadi secara otomatis (jabr) karena waris, sementara dalam Q.S Shad: 24 terjadi atas dasar akad (ikhtiyari) .
Sedangkan dalam hadits :
Dari Abu Hurairah, Rasulullah berkata : “Sesungguhnya Allah Azza Wa Jalla berfirman: ‘Aku pihak ketiga dari dua orang yang bersyarikat selama salah satunya tidak mengkhianati lainnya.” (H.R. Abu Dawud – no. 2936, dalam kitab Al Buyu, dan Hakim)
Hadits qudsi tersebut menunjukkan kecintaan Allah kepada hamba-hamba-Nya yang melakukan perkongsia selama saling menjunjung tinggi amanat kebersamaan dan menjauhi pengkhianatan.
Sedangkan dalam Ijma, Ibnu Qudamah dalam kitabnya Al Mughni 5/109 telah berkata, “Kaum muslimin telah berkonsensus terhadap legitimasi musyarakah secara global walaupun terdapat perbedaan pendapat dalam beberapa elemen dari padanya.” 6
Tentunya kerjasama musyarakah tidak boleh dilakukan untuk pembiayaan yang sifatnya haram. Misalnya perdagangan minuman keras dan hal-hal yang haram lainnya.

C. Macam-Macam Musyarakah

Pada dasarnya musyarakah atau syirkah (kerja sama) itu ada dua bentuk yaitu : (1). Syirkah al milk (kerjasama non kontraktual), dan (2). Syirkah al uqud (kerjasama kontraktual), (Saad Abdul Satar Al Haran, 1993:75).
1. Syirkah al-milk (kerjasama non kontraktual), mengimplikasikan kepemilikan bersama dan terjadi ketika dua atau lebih orang secara kebetulan mendapatkan kepemilikan bersama beberapa aset tanpa melalui persetujuan kerja sama (Saat Abdul Satar Al Haran, 1993:75).
2. Syirkah al uqud menunjukkan kebersamaan dua atau lebih orang untuk menjalankan suatu usaha yang bertujuan membagi keuntungan dengan investasi bersama sebagai kelaziman pada periode pembentukan kerjasama tersebut, berupa kerjasama dalam jumlah modal tertentu, dalam bekerjasama dengan mengkontribusikan tenaga dan keahlian dan kerjasama dalam pembiayaan dimana tidak ada modal dikontribusikan dan para pihak memberli dan menjual atas atas pembiayaan dengan suatu pemahaman bahwa mereka akan membagi keuntungan. Suatu kerjasama dengan karakter campuran dapat terjadi dalam bentuk kerjasama modal dan pekerjaan, lahan pertanian dan pekerjaan perusahaan industri dan hal-hal yang sejenis (Abdurahman Raden Aji Haqqi, 1999:3).
Syirkah al-uqud dibagi menjadi menjadi empat macam : 7
1. mufawadah (kewajiban dan kewenangan penuh),
Dalam syirkah muwafadah para pihak adalah orang-orang dewasa yang memiliki kesamaan dalam kontribusi modal, kemampuan mereka untuk memikul tanggung jawab serta bagian keuntungan dan kerugian. Oleh karena itu, setiap pihak dapat bertindak selaku agen (wakil) untuk usaha kerjasama dan bertindak sebagai penjamin (kafil) dari pihak lain.
2. Al-Inan (kewenangan dan kewajiban terbatas),
Mengimplikasikan bahwa semua pihak tidak perlu harus dewasa atau memiliki kontribusi yang sama atas modal. Tanggung jawab mereka terhadap kerugian juga sesuai modal mereka. Oleh karena itu, dalam syirkah Al-inan para pihak bertindak sebagai agen, tetapi tidak bertindak sebagai penjamin dari kolega mereka (Abdurahman Raden Aji Haqqi, 1999:3).
3. Al-Abdan (tenaga, keahlian, dan manajemen),
Adalah suatu kerjasama para pihak mengkontribusikan kemampuan mereka terhadap manajemen tanpa mengkontribusikan modal.
4. Al wujuh (good will, kepercayaan, pembiayaan dan kontrak).
Para pihak menggunakan good will (kepercayaan) terhadap mereka untuk memeroleh pembiayaan dan hubungan mereka dalam memproduksikan modal sedikitpun (wahbah Zulhaili, 1989:51)
Para ulama sepakat bahwa syarikah annan/inan dibolehkan dan sah. Sedangkan untuk syarikah lain terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama : Ulama Syafi’iyah dan Dhahariyah. Imaniyah berpendapat bahwa segala jenis syarikah tidak dibolehkan kecuali syarikah inan dan syarikah mudharabah (Ibnu Rusyd, 1998:5051). Hanabilah memperbolehkan semua jenis syarikah kecuali syariah muwafadah. Malikiyah memperbolehkan semua jenis syarikah, kecuali syarikah wujuh dan mufawwadah dalam versi definisi Hanafiyah. Hanafiyah dan Zaidiyah memperbolehkan semua jenis syarikah jika memenuhi persyaratan yang telah ditentukan (Ibnu Rusyd, 1998:50-51). 8
Dalam Perbankan Syariah yang dijalankan adalah Musyarakah Al-inan atau Syirkah Al-Inan karena perbankan syariah memiliki kontribusi yang sama atas modal, tanggung jawab mereka terhadap kerugian juga sesuai modal mereka, dan tidak bertindak sebagai penjamin dari kolega mereka. Perbankan syariah hanya sebagai penanam modal dalam pelaksanaannya. Ini berarti dalam menjalankannya tidak perlu kuatir karena dalam MusyarakahAl-inan para ulama semua sepakat memperblehkan dan sah. Ini berarti ditinjau dari PP No. 72/1992, yang dimaksud bank bagi hasil adalah bank yang sistem operasinya berdasarkan pada prinsip-prinsip syariah. Dengan adanya kesepakatan ulama dan hukum Islam lain tidak melarangnya semakin kuatlah kebolehan dan sahnya Musyarakah Al-inan karena tidak adanya penyimpangan terhadap prinsip-prinsip syariah.









_________________________________________________________________


1Hirsanuddin, Hukum Perbankan Syariah di Indonesia, 2008, Genta Press, Yogyakarta, Hal.130
2 Ibid, Hal.30
3H. Karnaen Perwataatmadja dan Muhammad Syafi’I Antonio, Bank Islam, 1992, Dana Bhakti Wakaf, Yogyakarta, Hal. 23.
4Abdul Ghofur Anshori, Perbankan Syariah di Indonesia, Gadjah Mada University Press, 2007, Yogyakarta, Hal. 128.
5Mohammad Nadjib, Esta Lestari, Jusmaliani, Yani Mulyaningsih, Tatik Mariyanti, Sairi Erfanie, Muhammad Soekarni, Mahmud Thoha, Tuti Ermawati, Umi Karomah Yaumidin, Putri Irma Yuniarti, Bahtiar Rifai, Investasi Syariah, 2008, Kreasi Wacana, Yogyakarta, Hal. 95-96.
6Muhammad Syafi’I Antonio, Bank Syariah, 1999, Tazkia Institute bekerja sama dengan Bank Indonesia, Jakarta, Hal. 129-130.
7Hirsanuddin, Op.Cit, Hal. 30-32.
8 Ibid, Hal. 33.


DAFTAR PUSTAKA

Abdul Ghofur Anshori, Perbankan Syariah di Indonesia, Gadjah Mada University Press, 2007,
Yogyakarta
H. Karnaen Perwataatmadja dan Muhammad Syafi’I Antonio, Bank Islam, 1992, Dana Bhakti Wakaf,
Yogyakarta
Hirsanuddin, Hukum Perbankan Syariah di Indonesia, 2008, Genta Press, Yogyakarta,
Muhammad Syafi’I Antonio, Bank Syariah, 1999, Tazkia Institute bekerja sama dengan Bank
Indonesia, Jakarta.
Mohammad Nadjib, Esta Lestari, Jusmaliani, Yani Mulyaningsih, Tatik Mariyanti, Sairi Erfanie,
Muhammad Soekarni, Mahmud Thoha, Tuti Ermawati, Umi Karomah Yaumidin, Putri Irma Yuniarti,
Bahtiar Rifai, Investasi Syariah, 2008, Kreasi Wacana, Yogyakarta.

0 comments:

Post a Comment