video-entry

featured-content

featured-content

featured-content

featured-content

featured-content

Tuesday, June 5, 2012

KARTEL DALAM HUKUM PERSAINGAN USAHA


Oleh : Tommi Ricky Rosandy,S.H.,M.H.






A. Pengertian

Perjanjian kartel merupakan salah satu perjanjian yang kerap kali terjadi dalam tindak monopoli.Secara sederhana, kartel adalah perjanjian satu pelaku usaha dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menghilangkan persaingan di antara keduanya. Dengan perkataan lain, kartel (cartel) adalah kerja sama dari produsen-produsen produk tertentu yang bertujuan untuk mengawasi produksi, penjualan, dan harga serta untuk melakukan monopoli terhadap komoditas atau industri tertentu. 1
Dalam Black’s Law Dictionary Kartel diartikan “A combination of producer of any product joined together to control its productions its productions , sale and price, so as to obtain a monopoly and restrict competition in any particular industry or commodity”.
Sememntara itu Anton Muliono dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan kartel sebagai “(1) Organisasi perusahaan-perusahaan besar (negara dan sebagainya) yang memproduksi barang-barang sejenis. (2) Persetujuan sekelompok perusahaan dengan maksud mengendalikan harga komoditi tertentu. 2
Richard Postner mengartikan Kartel : 3
A contract among competing seller to fix the price of product they sell ( or, what is the small thing, to limit their out put ) is likely any other contract in the sense that the partieswould not sign it unless they expected it to make them all better off.
Dalam pasal 11 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat menyatakan :
“Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian, dengan pelaku usaha saingannya, yang bermaksud
mempengaruhi harga dengan mengatur produksi dan atau pemasaran suatu barang dan atau
jasa, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak
sehat”.
Meskipun tidak ada definisi yang tegas tentang kartel di dalam Undang-Undang Larangan Praktek Monopoli, dari Pasal 11 dapat dikonstruksikan bahwa kartel adalah perjanjian horizontal untuk mempengaruhi harga dengan mengatur produksi dan atau pemasaran suatu barang dan atau jasa, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. 4
Unsur yang bisa diartikan sebagai kartel adalah menurut pasal 11, yaitu:
1. Perjanjian dengan pelaku usaha saingannya,
2. Bermaksud mempengaruhi harga
3. Dengan mengatur produksi dan atau pemasaran
4. Dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
Tentunya monopoli yang dimaksud bukanlah monopoly by nature dalam hal ini menurut penulis akan tetapi monopoli yang sengaja dibuat dan tergolong persaingan curang (unfair competition).
Perjanjian yang dimaksud dalam Pasal 11 tersebut menurut penulis tidak hanya mencakup perjanjian yang tertulis saja tetapi juga perjanjian yang tidak tertulis sebagaimana telah dijelaskan dalam ilmu Hukum Kontrak. Adanya kesepakatan para pihak yang dipatuhi dan dijalankan merupakan sebuah perjanjian. Hal yang sama dapat dilihat pada pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang menerangkan perjanjian sebagai “suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap sau orang lain atau lebih” .
Akan tetapi perlu diingat bahwa dalam UU Nomor 5 Tahun 1999 tersebut juga memberikan ketentuan terhadap pengecualian dalam Pasal 50 agar dapat menilai melanggar atau tidaknya suatu perbuatan masuk ke dalam kategori perbuatan atau perjanjian yang bisa dikenai sanksi atau tidak menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999.
Yang dikecualikan dari ketentuan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat adalah:
a. perbuatan dan atau perjanjian yang bertujuan melaksanakan peraturan perundangundangan
yang berlaku;
b. perjanjian yang berkaitan dengan hak atas kekayaan intelektual seperti lisensi, paten,
merek dagang, hak cipta, desain produk industri, rangkaian elektronik terpadu, dan rahasia
dagang, serta perjanjian yang berkaitan dengan waralaba;
c. perjanjian penetapan standar teknis produk barang dan atau jasa yang tidak mengekang
dan atau menghalangi persaingan;
d. perjanjian dalam rangka keagenan yang isinya tidak memuat ketentuan untuk memasok
kembali barang dan atau jasa dengan harga lebih rendah daripada harga yang telah
diperjanjikan;
e. perjanjian kerja sama penelitian untuk peningkatan atau perbaikan standar hidup
masyarakat luas;
f. perjanjian internasional yang telah diratifikasi oleh Pemerintah Republik Indonesia;
g. perjanjian dan atau perbuatan yang bertujuan untuk ekspor yang tidak mengganggu
kebutuhan dan atau pasokan pasar dalam negeri;
h. pelaku usaha yang tergolong dalam Usaha Kecil; atau
i. kegiatan usaha koperasi yang secara khusus bertujuan untuk melayani anggotanya.
Sedangkan dalam Kamus Hukum Ekonomi ELIPS (1997:21) mengartikan kartel (cartel) sebagai “persekongkolan atau persekutuan di antara beberapa produsen produk sejenis dengan maksud untuk mengontrol produksi, harga, dan penjualannya, serta untuk memperoleh posisi monopoli”. Dengan demikian, kartel merupakan salah satu bentuk monopoli, di mana beberapa pelaku usaha (produsen) bersatu untuk mengontrol produksi, menentukan harga, dan/ wilayah pemasaran atas suatu barang dan/ atau jasa, sehingga di antara mereka tidak ada lagi persaingan. 5

B. Akibat Kartel dan Pentingnya Hukum Persaingan Usaha

Bila kita lihat, konsep negara kesejahteraan pada dasarnya dikembangkan dalam konteks ekonomi pasar (market economy) dan dalam hubungannya dengan sistem ekonomi campuran (mixed economy). Peranan negara dalam konsep negara kesejahteraan menurut Briggs adalah “…to modify the play of market force” (…memodifikasikan berbagai kekuatan pasar). Perlunya pengendalian dan pembatasan terhadap bekerjanya kekuatan-kekuatan pasar tersebut adalah untuk mengatasi unsur-unsur negatif yang tidak diharapkan sebagai hasil (outcome) atau akibat bekerjanya kekuatan-kekuatan pasar tersebut.
Goodin mengingatkan nilai-nilai yang harus dijaga dalam menghadapi perilaku pasar bebas “The market has a ‘corrosive effect’ on values, debasing what was formerly precious and apart from mundane world, by allowing everything to be exchange for everything else. In the end we are left with nothing but a ‘vanding machine society’ where everything is available for a price.( Pasar memiliki dampak yang merusak nilai-nilai, merendahkan derajat terhadap apa yang sebelumnya mulia dan telah dianggap sebagai kebiasaan, yaitu jika membiarkan segala sesuatu dapat dipertukarkan dengan segala sesuatu yang lainnya. Pada akhirnya, kita ditnggalkannya bukan sebagai apa-apa, tetapi hanya sebagai masyarakat yang menjadi mesin penjual, di mana segalanyatersedia untuk sebuah harga). 6
Melihat pendapat Goodin tersebut maka dapat kita simpulkan bahwa perilaku pasar apabila tidak diatur dengan baik maka akan menimbulkan problematika dan dampak negatifnya bagi masyarakat yang menjadi konsumen dan tidak terwujudnya keadilan pasar yang berimbang dan tak terdapat kualitas yang didorong oleh persaingan karena hanya terpaku pada keuntungan semata. Sehingga membahayakan bila tak diatur dengan baik sebagai sebuah kontrol daripada kekuatan pasar agar tidak menyimpang.
Dari sudut pandang lain, Sri Rejeki Hartono berpendapat bahwa asas campur tangan negara terhadap kegiatan ekonomi merupakan salah satu dari tiga asas penting yang dibutuhkan dalam rangka pembinaan cita hukum dari asas-asas hukum nasional ditinjau dari aspek Hukum Dagang dan Ekonomi. Dua asas lain adalah asas keseimbangan dan asas pengawasan publik. Menurut beliau, kegiatan ekonomi yang terjadi dalam masyarakat membutuhkan campur tangan negara, mengingat tujuan dasar kegiatan ekonomi itu sendiri adalah mencari keuntungan. Sasaran tersebut mendorong terjadinya berbagai penyimpangan bahkan kecrangan yang dapat merugikan pihak-pihak tertentu, bahkan semua pihak. Oleh karena itu, beliau menegaskan bahwa campur tangan negara terhadap kegiatan ekonomi secara umum dalam rangka hubungan hukum yang terjadi tetap dalam batas-batas keseimbangan kepentingan umum semua pihak. Campur tangan negara dalam hal ini adalah dalam rangka menjaga keseimbangan kepentingan semua pihak dalam masyarakat, melindungi kepentingan produsen dan konsumen, sekaligus melindungi kepentingan negara dan kepentingan umum terhadap kepentingan perusahaan atau pribadi.7 Tak terkecuali dalam hal ini adalah kartel yang memiliki kemungkinan terhadap persaingan tidak sehat yang bisa merugikan konsumen secara luas.
Kartel biasanya dipraktekkan oleh asosiasi dagang (trade associations) bersama para anggotanya. Banyak sekali hal yang bermanfaat dengan adanya suatu asosiasi dagang, misalnya upaya menyusun suatu standar teknis atau upaya bersama mengatasi polusi akan menjadi ringan bila diikuti para anggota. Akan tetapi, bahaya akan muncul bila kegiatan asosiasi tersebut ditujukan untuk mengatur harga karena akan menghambat serta menghalangi terjadinya suatu persaingan yang sehat. 8
Di kebanyakan negara, pengertian kartel meliputi perjanjian antara para pesaing untuk membagi pasar, mengalokasikan pelanggan, dan meneapkan harga. Kartel diakui sebagai kolaborasi bisnis yang paling merugikan, dengan cara mengontrol pasar untuk keuntungan mereka. 9
Secara klasik, kartel dapat dilakukan melalui tiga hal, yakni dalam hal harga, produksi dan wilayah pemasaran. Terdapat dua kerugian yang terjadi pada kartel yakni terjadinya praktek monopoli oleh para pelaku kartel sehingga secara makro mengakibatkan inefisiensi alokasi sumber daya yang dicerminkan dengan timbulnya deadweight loss10 atau bobot hilang yang umumnya disebabkan kebijaksananaan pembatasan produksi yang biasa dipraktekkan oleh perusahaan monopoli untuk menjaga agar harga-harga tetap tinggi 11dan dari segi konsumen akan kehilangan pilihan harga, kualitas yang bersaing, dan layanan purna jual yang baik.
Perjanjian semacam kartel ini menyebabkan peminimalisasian atau bahkan meniadakan adanya persaingan dan menyebabkan konsumen tidak ada pilihan terutama dalam hal harga beli karena semua barang sejenis telah diatur harganya sehingga menyebabkan mau tidak mau konsumen membeli meskipun dengan harga tinggi atau tidak wajar.
Hal tersebut menjadi sangat merugikan konsumen pada pelaku usaha-usaha tertentu yang sangat dibutuhkan misalnya bila kartel tersebut terjadi pada bisnis obat-obatan. Jika terjadi kartel di sana maka masyarakat sebagai konsumen akan dihadapkan dengan harga yang tidak wajar atau pilihan yang tidak wajar karena tidak adanya persaingan karena ada pengupayaan untuk menghilangkan/meminimalisir persaingan sehingga masyarakat yang seharusnya mendapatkan pelayanan terhadap kesehatan menjadi tak terjangkau bagi mereka. Atau dengan kata lain mau tidak mau karena kebutuhan maka akan tetap membeli dengan keterpaksaan atau rasa berat dikarenakan harga dan pilihan yang tidak wajar karena diperjanjikan.

C. Pendekatan Rule of Reason dalam Pembuktian Kartel

Hampir semua negara menghukum praktek kartel secara per se illegal, bahkan anggota kartel pada umumnya menghadapi tanggung jawab atas potensi kriminal. Namun ketentuan dalam Pasal 11 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 menetapkan, bahwa pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan para pesaingnya untuk mempengaruhi harga “hanya jika” perjanjian tersebut dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan/atau persaingan tidak sehat. Ketentuan ini mengarahkan pihak komisi (KPPU) untuk menggunakan pendekatan rule of reason dalam menganalisis kartel. 12
Larangan yang berkaitan dengan kartel ini hanya berlaku apabila perjanjian kartel tersebut dapat mengakibatkan terjadinya monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat. Berarti, pendekatan yang digunakan dalam kartel adalah rule of reason . Keunggulan dari Rule of Reason adalah dapat dengan akurat dari sudut efisiensi menetapkan apakah suatu tindakan pelaku usaha menghambat persaingan. Sedangkan kekurangannya, penilaian yang akurat tersebut bisa menimbulkan perbedaan hasil analisa yang mendatangkan ketidakpastian. Kesulitan penerapan rule of reason antara lain penyelidikan akan memakan waktu yang lama dan memerlukan pengetahuan ekonomi. 13
Kata-kata “mengatur produksi dan/atau pemasaran” yang bertujuan mempengaruhi harga adalah menunjukkan upaya untuk meniadakan kesempatan pihak lawan dalam pasar untuk memilih secara bebas di antara penawaran anggota kartel.
Pasal ini menunjukkan cakupan hanya dalam hal produksi dan penjualan, tidak meliputi pengembangan dan pembelian. Selain itu pasal ini menjangkau pembagian pelanggan yang tidak tercakupdalam Pasal 9 (pembagian wilayah), namun tidak mencakup tender kolusif (Pasal 22) dan agensi yang melaporkan harga yang teridentifikasi yang dicakup Pasal 5. Karenanya, pembahasan Pasal 11 terkait dengan Pasal 5, 9 dan 10.
Kartel dianggap sebagai per se illegal di negara-negara barat. Sebab pada kenyataan bahwa price fixing dan perbuatan-perbuatan kartel mempunyai dampak negatif terhadap harga dan output jika dibandingkan dengan dampak pasar yang kompetitif. Adapun kartel jarang sekali menghasilkan efisiensi karena yang dihasilkan sangat kecil dibandingkan dengan dampak negatif tindakan-tindakannya. 14
Dalam lingkup doktrin rule of reason , jika suatu kegiatan yang dilarang dilakukan oleh seorang pelaku usaha akan dilihat seberapa jauh efek negatifnya. Jika terbukti secara signifikan adanya unsur yang menghambat persaingan, baru dianbil tindakan hukum. Ciri-ciri pembeda terhadap larangan yang bersifat rule of reason, pertama adalah bentuk aturan yang menyebutkan adanya persyaratan tertentu yang harus terpenuhi sehingga memenuhi kualifikasi adanya potensi bagi terjadinya praktik monopoli dan atau praktik persaingan usaha yang tidak sehat.Ciri kedua adalah apabila dalam aturan tersebut memuat anak kalimat “patut diduga atau dianggap” . 15




____________________________________________________________

1Mustafa Kamal Rokan, Hukum Persaingan Usaha, 2010, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, Hal. 105.
2Johnny Ibrahim, Hukum Persaingan Usaha , 2007, Bayumedia Publishing, Malang, Hal. 230.
3Mustafa Kamal Rokan, Log.cit. Lihat juga Richard A. Posner, Economic Analysis of Law, Fourth Edition, (Boston: Little, Brown and Company), hlm. 285.
4Arief Siswanto, Hukum Persaingan Usaha, 2002, Ghalia Indonesia, Jakarta, hal.85
5Rachmadi Usman, Hukum Persaingan Usaha di Indonesia, 2004, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, Hal. 55.
6Johnny Ibrahim, Op.Cit , 2007, Hal.34
7 Ibid , Hal. 35
8 Ibid , Hal. 231
9A.M. Tri Anggraini, Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat Perse Illegal dan Rule of Reason, 2003, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, Hal. 207.
10Mustafa Kamal Rokan, Op.Cit, Hal. 106
11Johnny Ibrahim, Op.Cit, 2007, Hal. 103-104.
12A.M. Tri Anggraini, Op.Cit, Hal. 210
13A.M. Tri Anggraini, Ibid, Hal. 20.
14Mustafa Kamal Rokan, Op.Cit, Hal. 106-107.
15Johnny Ibrahim, Op.Cit, Hal. 227


DAFTAR PUSTAKA

A.M. Tri Anggraini, Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat Perse Illegal dan Rule of Reason, 2003, Fakultas Hukum Universitas Indonesia
Arief Siswanto, Hukum Persaingan Usaha, 2002, Ghalia Indonesia, Jakarta
Johnny Ibrahim, Hukum Persaingan Usaha , 2007, Bayumedia Publishing, Malang
Mustafa Kamal Rokan, Hukum Persaingan Usaha, 2010, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta
Rachmadi Usman, Hukum Persaingan Usaha di Indonesia, 2004, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta

0 comments:

Post a Comment