video-entry

featured-content

featured-content

featured-content

featured-content

featured-content

Tuesday, June 5, 2012

FORCE MAJEURE DALAM KONTRAK BISNIS


Oleh : Tommi Ricky Rosandy, S.H.,M.H.



BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Seperti yang kita semua ketahui bahwa kontrak berlaku mengikat bagi pembuatnya. Tetapi bagaimana bila terjadi kemusnahan barang di luar kesalahan debitor / orang yang berkewajiban memenuhi hak daripada kreditor ? Misalnya pada waktu pengantaran barang melalui kapal tiba-tiba terjadi badai laut yang tidak diduga sebelumnyasehingga menyebabkan kapal tenggelam sekaligus barang-barang yang dibawa ikut tenggelam. Atau ketika kebakaran gudang terjadi dan barang yang diperjanjikan musnah. Padahal tidak menunjukan debitor memiliki itikad yang tidak baik. Dengan kata lain bukan kesengajaan atau maksud debitor atas kejadian tersebut. Apakah dalam hal ini menjadi tetap debitor harus memenuhi tanggung jawab kepada kreditor seperti yang diperjanjikan semula atau ada ketentuan lain ? Namun di sisi lain jika barang yang seharusnya dimiliki haknya dan diterima oleh kreditor musnah kemudian tidak ada yang mengganti berarti merupakan kerugian bagi kreditor. Sehingga dibutuhkan solusi hukum dalam penyelesaian permasalahan di atas.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah hukum kontrak mengatur keadaan memaksa yang tergolong keadaan tak terduga yang menghalangi salah satu pihak gagal dalam memenuhi prestasi akibat hal tak terduga tersebut ?


BAB II
FORCE MAJEURE DALAM KONTRAK


A. Mengenai Force Majeure
Force majeure atau yang sering diterjemahkan sebagai “keadaan memaksa” merupakan keadaan di mana seorang debitor terhalang untuk melaksanakan prestasinya karena keadaan atau peristiwa yang tidak terduga pada saat dibuatnya kontrak, keadaan atau peristiwa tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan, sementara si debitur tersebut tidak dalam keadaan beritikad buruk.
Pasal 1244 KUH Perdata menyebutkan :
” Dalam hal ini, kejadian-kejadian yang merupakan force majeure tersebut tidak pernah terduga oleh para pihak sebelumnya. Sebab, jika para pihak sudah dapat menduga sebelumnya akan adanya peristiwa tersebut maka seyogianya hal tersebut harus sudah dinegosiasi di antara para pihak”.
Dengan perkataan lain, bahwa peristiwa yang merupakan force majeure tersebut tidak termasuk ke dalam asumsi dasar (basic asumption) dari para pihak ketika kontrak tersebut dibuat.1
Beberapa pasal dalam KUH Perdata yang dapat digunakan sebagai pedoman ketentuan force majeure selain pasal 1244 yang sudah tersebut di atas, antara lain adalah :
Pasal 1245 :
“Tidaklah biaya rugi dan bunga, harus digantinya, apabila lantaran keadaan memaksa atau lantaran suatu kejadian tidak disengaja si berhutang berhalangan memberikan atau berbuat sesuatu yang diwajibkan, atau lantaran hal-hal yang sama telah melakukan perbuatan yang terlarang”.
Pasal 1545 :
“Jika suatu barang tertentu, yang telah dijanjikan untuk ditukar, musnah di luar salah pemiliknya, maka persetujuan dianggap sebagai gugur, dan siapa yang dari pihaknya telah memenuhi persetujuan, dapat menuntut kembali barang yang ia telah berikan dalam tukar-menukar”.
Pasal 1553 :
“Jika selama waktu sewa, barang yang disewakan sama sekali musnah karena suatu kejadian yang tidak disengaja, maka persetujuan sewa gugur demi hukum”.
Dari rumusan pasal-pasal tersebut, setidaknya terdapat 3 (tiga) unsur yang harus dipenuhi untuk force majeure ini, yaitu :2
1. Tidak memenuhi prestasi
2. Ada sebab yang terletak di luar kesalahan yang bersangkutan;
3. Faktor penyebab itu tidak diduga sebelumnya dan tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada yang bersangkutan.
Dari hal di atas menurut penulis menunjukan bahwa force majeure timbul karena hal yang tidak terduga. Dengan kata lain bila hal tersebut telah diduga sebelumnya maka itu bukan termasuk force majeure. Misalnya adalah ketika kapal perdagangan yang melintasi suatu daerah yang sudah dipastikan oleh media berita terkena badai laut kemudian kapal pengangkut itu sudah tahu akan hal tersebut kemudian tetap berlayar melewati daerah tersebut dengan tujuan berspekulasi akan selamat maka itu bukan termasuk force majeure karena hal tersebut sudah diduga bahkan diketahui lebih dahulu tentang peristiwa dan resiko yang akan dihadapi meskipun di situ adalah satu-satunya jalan yang bisa dilewati oleh kapal pengangkut barang tersebut.
B. Akibat Hukum
Ada tiga akibat hukum keadaan yang memaksa, yaitu :
Debitor tidak perlu membayar ganti rugi. ( Pasal 1244 KUH Perdata )
Beban Resiko tidak berubah, terutama pada keadaan memaksa sementara.
Kreditor tidak berhak atas pemenuhan prestasi, tetapi sekaligus demi hokum bebas dari kewajibannya untuk menyerahkan kantra prestasi, kecuali untuk yang disebut dalam Pasal 1460 KUH Perdata.
Ketiga akibat itu dibedakan menjadi dua macam :
(1) Akibat keadaan memaksa absolut, yaitu akibat nomor a dan c
(2) akibat keadaan memaksa relatif, yaitu akibat nomor b.3
Mengenai keadaan memaksa (Force Majeure) yang absolut diartikan keadaan memaksa/force majeure yang terjadi sehingga prestasi dari kontrak sama sekali tidak mungkin dilakukan. Misalnya, barang yang merupakan objek kontrak musnah.
Sedangkan keadaan memaksa (Force Majeure) yang relatif diartikan keadaan memaksa (force majeure) di mana pemenuhan prestasi secara formal tidak mungkin dilakukan, walaupun secara tidak normal masih mungkin dilakukan. 4








____________________________________


1Munir Fuady, Hukum kontrak, 1999, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, hal.113
.2Daeng Naja, Contract Drafting, 2006, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, hal.235-236
.3Salim HS, Pengantar Hukum Perdata Tertulis [BW] , 2006, Sinar Grafika, Jakarta, Hal. 184-185.
.4Munir Fuady, Op.Cit, hal.116


DAFTAR PUSTAKA
Daeng Naja, Contract Drafting, 2006, PT Citra Aditya Bakti, Bandung.
Munir Fuady, Hukum kontrak, 1999, PT Citra Aditya Bakti, Bandung.
Salim HS, Pengantar Hukum Perdata Tertulis [BW], 2006, Sinar Grafika, Jakarta.

0 comments:

Post a Comment