video-entry

featured-content

featured-content

featured-content

featured-content

featured-content

Tuesday, June 5, 2012

FACTORING DALAM PERSPEKTIF HUKUM

Oleh : Tommi Ricky Rosandy, SH.,M.H




BAB I
PENDAHULUAN

A. Pendahuluan
Dalam kegiatan masyarakat mungkin jarang kita temukan istilah factoring akan tetapi pembiayaan ini sudah lama dilaksanakan cukkup lama. Sebagai sebuah pembiayaan factoring memang dibutuhkan terutama oleh pelaku usaha agar dapat memperlancar kegiatan usahanya dengan menjual piutangnya kepada pihak lain maka akan mempermudah aliran dana untuk produksi. Sehingga kemajuan perusahaan akan lebih lancar termasuk bagian produksi.Dalam prakteknya factoring seringkali merupakan pembiayaan yang efektif akan tetapi juga mengandung resiko tinggi bilamana piutang tersebut tidak terbayar maka pihak yang membeli piutang tersebut akan mendapatkan tanggungan resiko bila tidak diperjanjikan lain hanya selesai pada jual-beli saja. Makalah ini menerangkan jenis-jenis factoring dan juga perspektif hukum sehingga dapat menjadi gambaran mengenai kegiatan factoring.

B. Rumusan Masalah
Bagaimanakah hukum mengatur mengenai factoring dan bagaimanakah factoring dalam perspektif hukum ?




BAB II
PEMBIAYAAN FACTORING DALAM PERSPEKTIF HUKUM BISNIS


A. Pengertian
Salah satu bentuk perjanjian dan kontrak perjanjian yang belum diatur dalam BW (KUHPerdata) namun kenyataannya ada dan berkembang dalam masyarakat adalah pembiayaan konsumen. Pembiayaan konsumen merupakan salah satu model pembiayaan yang dilakukan oleh perusahaan financial, di samping kegiatan seperti leasing, factoring, kartu kredit dan sebagainya.
Dengan kemajuan kegiatan bisnis, terutama sejak orde reformasi, telah tumbuh lembaga bisnis yang berkaitan dengan lembaga cessie, yakni lembaga anjak piutang (factoring). Lembaga anjak piutang adalah salah satu upaya pem-biayaan jangka pendek untuk transaksi perdagangan dalam negeri dan luar negeri.
Menurut Richard Burton Simatupang dalam bukunya, pengertian lembaga pembiayaan factoring/anjak piutang adalah lembaga pembiayaan yang dalam melakukan usaha pembiayaannya dilakukan dalam bentuk pembelian dan atau pengalihan serta pengurusan piutang atau tagihan jangka pendek suatu perusahaan dari transaksi perdagangan dalam atau luar negeri.1
Pengertian lain juga senada dengan pendapat di atas bahwa Anjak Piutang (factoring) adalah pembiayaan jangka pendek tanpa kolateral. Pembiayaan yang dilakukan dalam bentuk pembelian dan/atau pengalihan/pengambilalihan, serta pengurusan piutang atau tagihan jangka pendek dari suatu perusahaan, tagihan mana berasal dari transaksi perdagangan dalam maupun luar negeri.
Yang menjadi dasar hukum bagi factoring adalah kontrak factoring itu sendiri. Selanjutnya, terdapat berbagai perundang-undangan tentang factoring dan pengaturan tentang pengalihan (cessie) dalam KUH Perdata, dan perundang-undangan di bidang keuangan dan pembiayaan.
Perjanjian Anjak Piutang itu mengandung resiko yag besar dan untuk mengurangi resiko tersebut, biasanya factor meminta adanya pengaturan mengenai aliran arus keuangan terhadap pencairan dan pembayaran piutang dagang. Pengertian resiko menurut Subekti (1992) adalah kewajiban memikul kerugian yang disebabkan karena suatu peristiwa di luar kesalahan salah satu
pihak, dan siapa yang wajib memikul kerugian-kerugian itu? Inilah yang dinamakan resiko. Persoalan resiko itu berpangkal pada kejadian yang dinamakan keadaan memaksa. Persoalan resiko adalah buntut dari suatu keadaan memaksa. 2
B. Jenis-Jenis Factoring
Adapun jenis-jenis factoring adalah sebagai berikut:3
( 1 ) Recourse Factoring (factoring di mana setelah transaksi factoring terjadi, pihak klien masih bertanggung jawab).
( 2 ) Non-Recourse Factoring (factoring di mana setelah transaksi factoring terjadi, pihak klien tidak bertanggung jawab lagi. ( hal. 152 )
( 3 ) Domestic Factoring (factoring semua pihak berada dalam 1 (satu) Negara).
( 4 ) International Factoring (Factoring di mana pihak costumer-nya berada di luar negeri).
( 5 ) Factoring dengan Account Receivables (factoring di mana yang dialihkan adalah bukti tagihan berupa invoice dagang )
Perbedaan antara anjak piutang dengan pinjaman bank. Antara lain adalah : 4
1. Penekanan anjak piutang adalah pada nilai piutang, bukan kelayakan kredit perusahaan.
2. Anjak piutang bukan merupakan suatu pinjaman, melainkan anjak piutang berarti membeli suatu asset yang berupa piutang.
3. Pinjaman bank melibatkan dua pihak, yaitu bank dan penerima kredit, sedangkan anjak piutang melibatkan tiga pihak yaitu pihak yang menjual piutang, lembaga anjak piutang dan pihak yang harus membayar piutang.
Penjualan portofolio kredit macet atau penjualan piutang macet berbeda dengan “penjualan agunan kredit macet”. Penjualan portofolio kredit macet hamper mirip dengan praktik pengalihan tagihan piutang suatu perusahaan kepada perusahaan lain yang lazim diatur dalam hukum tentang anjak pitang atau factoring. Menurut Munir Fuady ada beberapa ketentuan dalam hokum Indonesia yang dapat menjadi dasar hukum bagi eksistensi suatu jasa factoring, yaitu ketentuan-ketentuan yang merupakan dasar hukum bagi eksistensi suatu jasa factoring, yaitu ketentuan-ketentuan yang merupakan dasar hokum substansif murni, substansif procedural, dan dasar huikum administratif. Dasar hukum substansif murni dari kegiatan factoring adalah Pasal 1338 KUH Perdata perihal “asas kebebasan berkontrak” serta pasal 1320 KUH Perdata tentang “syarat sahnya suatu perjanjian”. Dasar hokum substansif procedural dari kegiatan factoring adalah Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yakni: (1) ketentuan dalam buku kedua tentang “Cessie” (pengalihan piutang) vide Pasal 613 KUH Perdata; (2) Ketentuan Pasal 1400 KUH Perdata dan seterusnya yang mengatur tentang “subrogasi” (pergantian hak si berpiutang oleh pihak ketiga, yang membayar kepada si berpiutang), serta (3) ketentuan lain yang berhubungan dengan penjualan piutang, yaitu KUH Perdata Pasal 1459, Pasal 1491, Pasal 1493, Pasal 1495, Pasal 1553, Pasal 1534 dan sebagainya, serta ketentuan yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) Pasal 174 sampai dengan Pasal 177.
Kegiatan factoring juga memiliki dasar hokum yang bersifat administrative yaitu: (1) UU Perbankan (UU 7/1992 juncto UU 10/1998) Pasal 6 huruf l khususnya yang menyebutkan bahwa salah satu usaha bank adalah “melakukan kegiatan anjak piutang”, (2) Keputusan Presiden Nomor 61 Tahun 1988 tentang Lembaga Pembiayaan, dan (3) Keputusan Menteri Keuangan (KMK) Nomor 1251/KMK.031?1988 tentang ketentuan dan Tata Cara Pelaksanaan Lembaga Pembiayaan, sebagaimana yang telah berkali-kali diubah, terakhir dengan KMK 448/KMK.017/2000 tentang Perusahaan Pembiayaan. Saat ini KMK 448/KMK.017/2000 telah diubah oleh Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan Pembiayaan (PMK 84/2006). 5
Dari penelitian terhadap 39 Putusan Mahkamah Agung yang telah dilakukan oleh peneliti, dapat disimpulkan bahwa hakim-hakim lebih merupakan mazhab konvensional yang hanya menerapkan arti cessie menurut BW (KUH Per-data). Namun dengan telah berkembangnya Hukum Bisnis yang timbul dari perjanjian, saat ini telah timbul mazhab transisi yang telah mampu mengaitkan lembaga cessie sebagaimana dinyatakan dalam KUH Perdata dengan berbagai kegiatan pembiayaan dalam bentuk factoring/anjak piutang.
Pertanyaan penting adalah apakah suatu sahnya penyerahan/pengalihan utang tergantung pada sahnya pengalihan barang jaminan? Dalam Putusan MA No. 148 K/Pdt/2003 tanggal 19 Mei 2007, MA RI menyatakan bahwa perjanjian pengalihan barang jaminan telah memenuhi ketentuan tentang sahnya perjanjian dan tidak bertentangan dengan ketentuan perjanjian jual-beli kredit sehingga perjanjian pengalihan dalam kasus ini adalah sah. Dengan kata lain, jika perjanjian pengalihan barang jaminan tersebut tidak memenuhi syarat sahnya perjanjian, maka penyerahan piutangnya melalui lembaga cesssie juga tidak sah.
Seperti yang telah disebutkan bahwa pada dasarnya terdapat tiga pihak
yang terlibat dalam transaksi factoring, yakni :
1. Klien sebagai penjual piutang
2. Customer sebagai yang berhutang
3. Perusahaan Factoring (factor) sebagai pembeli piutang
Dengan demikian pada cessie akan didahului perjanjian obligator terlebih dahulu, yang pada umumnya adalah jual-beli. Dalam praktik biasanya akta yang dibuat adalah Perjanjian Jual-Beli Piutang. Perjanjian ini baru menimbulkan kewajiban bagi masing-masing pihak. Perjanjian Obligatoir ini harus ditindaklanjuti dengan penyerahan (transfer of ownership) sehingga piutang yang semula milik kreditur lama sekarang menjadi milik kreditur baru.
Terkait dengan hubungan sebab akibat (Teori Kausalitas), keabsahan peristiwa hukum yang kemudian tergantung pada sah tidaknya peristiwa hukum yang mendahuluinya. Dengan demikian keabsahan cessie sangat bergantung pada sah tidaknya perjanjian obligatoir yang mendahuluinya, yakni perjanjian jual-beli piutang. Apabila perjanjian jual-beli piutangnya sah maka perjanjian cessie yang dibuat juga sah, sebaliknya bila perjanjian jual-beli piutang yang dibuat tidak sah maka perjanjian cessie-nya juga tidak sah. Akan tetapi, ada juga ajaran yang memisahkan kedua peristiwa hukum tersebut. Ajaran ini dikenal sebagai Teori Abstraksi. Menurut teori ini maka sah tidaknya cessie tidak bergantung pada sah tidaknya perjanjian jual-beli piutang yang mendahuluinya. Dengan kata lain, meskipun perjanjian jual-beli piutang yang mendahuluinya tidak sah, perjanjian cessie-nya tetap dianggap sah; yang dengan demikian tetap dianggap telah terjadi alih kepemilikan hak tagih atas piutang dari kreditur lama kepada kreditur baru.
     Menurut pasal 613 KUH Perdata, penyerahan piutang atas nama dan barang-barang lain yang tidak bertubuh, dilakukan dengan jalan membuat “akta” (otentik atau dibawah tangan), yang disebut dengan “akta cessei”yang melimpahkan hak-hak atas barang-barang itu kepada oarang lain. Penyerahan itu tidak akan ada akibatnya bagi yang berhutang sebelum penyerahan itu (1) diberitahukan kepadanya, atau (2)disetujui secara tertulis, atau (3) diakuinya. Sementara itu, penyerahan surat-surat hutang atas tunjuk dilakukan dengan memberikannya dan penyerahan surat hutang atas perintah dilakukan dengan memberikannya bersama endorsemen surat itu.


BAB III
KESIMPULAN

1. Yang menjadi dasar hukum bagi factoring adalah kontrak factoring itu sendiri.
2. Anjak Piutang (factoring) adalah pembiayaan jangka pendek tanpa kolateral. Pembiayaan yang dilakukan dalam bentuk pembelian dan/atau pengalihan/pengambilalihan, serta pengurusan piutang atau tagihan jangka pendek dari suatu perusahaan, tagihan mana berasal dari transaksi perdagangan dalam maupun luar negeri.
3. Kegiatan factoring juga memiliki dasar hukum yang bersifat administrative yaitu: (1) UU Perbankan (UU 7/1992 juncto UU 10/1998) Pasal 6 huruf l khususnya yang menyebutkan bahwa salah satu usaha bank adalah “melakukan kegiatan anjak piutang”, (2) Keputusan Presiden Nomor 61 Tahun 1988 tentang Lembaga Pembiayaan, dan (3) Keputusan Menteri Keuangan (KMK) Nomor 1251/KMK.031?1988 tentang ketentuan dan Tata Cara Pelaksanaan Lembaga Pembiayaan, sebagaimana yang telah berkali-kali diubah, terakhir dengan KMK 448/KMK.017/2000 tentang Perusahaan Pembiayaan. Saat ini KMK 448/KMK.017/2000 telah diubah oleh Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan Pembiayaan (PMK 84/2006). Dasar hokum substansif procedural dari kegiatan factoring adalah Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yakni: (1) ketentuan dalam buku kedua tentang “Cessie” (pengalihan piutang) vide Pasal 613 KUH Perdata; (2) Ketentuan Pasal 1400 KUH Perdata dan seterusnya yang mengatur tentang “subrogasi” (pergantian hak si berpiutang oleh pihak ketiga, yang membayar kepada si berpiutang), serta (3) ketentuan lain yang berhubungan dengan penjualan piutang, yaitu KUH Perdata Pasal 1459, Pasal 1491, Pasal 1493, Pasal 1495, Pasal 1553, Pasal 1534 dan sebagainya, serta ketentuan yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) Pasal 174 sampai dengan Pasal 177.




______________________________________

1 Richard Burton Simatupang, Aspek Hukum dalam Bisnis , 2007, Cet. Kedua, Jakarta: PT Rineka Cipta, hlm. 119
2 Subekti, Hukum Perjanjian , PT.Intermasa, Jakarta,1992, hal.59
3 Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia dan AusAID, Panduan Bantuan Hukum di Indonesia , 2006, YLBHI dan PSHK, Jakarta, hal. 153
4 Budhi Wibowo dan Adi Kusrianto, Menembus Pasar Ekspor,2010, PT Elex Media Komputindo, Jakarta, hal.64-65
5 Iswi Hariyani, Restrukturisasi dan Penghapusan Kredit Macet , 2010, PT Elex Media Komputindo, Jakarta, hal. 258-259




DAFTAR PUSTAKA
Iswi Hariyani, Restrukturisasi dan Penghapusan Kredit Macet , 2010, PT Elex Media Komputindo, Jakarta, hal. 258-259.
Richard Burton Simatupang, Aspek Hukum dalam Bisnis , 2007, Cet. Kedua, Jakarta: PT Rineka Cipta, hlm. 119
Subekti, Hukum Perjanjian , PT.Intermasa, Jakarta,1992, hal.59
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia dan AusAID, Pnduan Bantuan Hukum di Indonesia , 2006, YLBHI dan PSHK, Jakarta

1 comments: